Rahayu......!
Kewan cacah papat mau nggambarake
nafsu patang warna yaiku: Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake
nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake
nafsu Mutmainah kang kabeh mau bisa dibabarake kaya ukara ing ngisor iki:
Amarah, Yen
manungsa ngetutake amarah iku tartamtu tansaya bengkerengan lan padudon wae,
bisa-bisa manungsa koncatan kasabaran, kamangka sabar iku mujudake alat kanggo
nyaketake dhiri marang Allah SWT.
Supiyah/Kaendahan,
Manungsa kuwi umume seneng marang kang sarwa endah yaiku wanita (asmara). Mula
manungsa kang kabulet nafsu asmara digambarake bisa ngobong jagad.
Aluamah/Srakah,
Manungsa kuwi umume padha nduweni rasa srakah lan aluamah, mula kuwi yen ora
dikendaleni, manungsa kepengine bisa urip nganti pitung turunan.
Mutmainah/Kautaman, Senajan kuwi kautaman utawa kabecikan, nanging yen ngluwihi
wates ya tetep ora becik.
Contone, menehi duwit marang wong
kang kekurangan kuwi becik, nanging yen kabeh duwene duwit diwenehake satemah
uripe dewe rusak, iku cetha yen ora apik. Mula kuwi, sedulur papat iku kudu
direksa lan diatur supaya aja nganti ngelantur. Manungsa diuji aja nganti kalah
karo sedulur papat kasebut, kapara kudu menang, lire kudu bisa ngatasi krodhane
sedulur papat. Yen manungsa dikalahake dening sedulur papat iki, ateges jagade
bubrah. Ing kene dununge pancer kudu bisa dadi paugeran lan dadi pathokan.
Bener orane, nyumanggakake.
Tirakat
“Liring
sepuh sepi hawa / Awas roroning atunggal / Tan samar pamoring sukma /
Sinukmanya winahya ing ngasepi / Sinimpen telenging kalbu / Pambukaning wanara
/ Tarlen saking liyep layaping ngaluyup / Pindha sesating supena / Sumusiping
rasa jati / Sajatine kang mangkana / Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi / Bali
alaming asuwung / Tan karem karameyan / Ingkang sipat wisesa-winisesa wus /
Milih mula-mulanira / Mulane wong anom sami”.
Manusia jawa (tiyang Jawi lan para sswane Jendra ) pada saat tertentu
rela/mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk
maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa
usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi
kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan
keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa
menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha
semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.
Tirakat kadang-kadang dijalankan
dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari Senin dan Kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan
Puasa (Siyam) ada terkadang juga
berpuasa selama beberapa hari (Nglowong)
menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu
bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali
(tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu
atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang
melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus
oleh sinar cahaya (patigeni).
Tirakat dapat juga dijalankan pada
saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu
mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang
lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam
suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya.
Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa
prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam
keadaan bahaya.
Tapabrata
(bertapa)
Tapabrata
dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting,
Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para
pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan
kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu,
orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya
tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.
Orang Jawa mengenal berbagai cara
bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 )
dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad
ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah:
1. Tapa
mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.
2. Tapa
ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan
sebuah pohon.
3. Tapa
nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau
orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
4. Tapa
bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini
biasanya didahului oleh suatu janji.
5. Tapa
bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu
tertentu.
6. Tapa
ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
7. Tapa
ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
8. Tapa
ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu
yang sudah ditentukan.
9. Tapa
ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di
atas sebuah rakit.
10. Tapa tilem,
dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
11. Tapa mutih,
yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
Ketiga jenis tapa yang tersebut
terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas
antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas.
Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara
terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan
dengan cara menggabung-gabungkan.
Oleh karena itu tapa semacam itu mirip
dengan tapa pada orang Hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu
perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata.
Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata
bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan
dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya
perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting
dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar