Minggu, 28 April 2013

Bag 9 Mangkunegara IV Guru Bathin kaweruh Jendro Hayuningrat


Rahayu......! 
           Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku: Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah kang kabeh mau bisa dibabarake kaya ukara ing ngisor iki:

Amarah, Yen manungsa ngetutake amarah iku tartamtu tansaya bengkerengan lan padudon wae, bisa-bisa manungsa koncatan kasabaran, kamangka sabar iku mujudake alat kanggo nyaketake dhiri marang Allah SWT.

Supiyah/Kaendahan, Manungsa kuwi umume seneng marang kang sarwa endah yaiku wanita (asmara). Mula manungsa kang kabulet nafsu asmara digambarake bisa ngobong jagad.

Aluamah/Srakah, Manungsa kuwi umume padha nduweni rasa srakah lan aluamah, mula kuwi yen ora dikendaleni, manungsa kepengine bisa urip nganti pitung turunan.

Mutmainah/Kautaman, Senajan kuwi kautaman utawa kabecikan, nanging yen ngluwihi wates ya tetep ora becik.

Contone, menehi duwit marang wong kang kekurangan kuwi becik, nanging yen kabeh duwene duwit diwenehake satemah uripe dewe rusak, iku cetha yen ora apik. Mula kuwi, sedulur papat iku kudu direksa lan diatur supaya aja nganti ngelantur. Manungsa diuji aja nganti kalah karo sedulur papat kasebut, kapara kudu menang, lire kudu bisa ngatasi krodhane sedulur papat. Yen manungsa dikalahake dening sedulur papat iki, ateges jagade bubrah. Ing kene dununge pancer kudu bisa dadi paugeran lan dadi pathokan. Bener orane, nyumanggakake.


Tirakat

Liring sepuh sepi hawa / Awas roroning atunggal / Tan samar pamoring sukma / Sinukmanya winahya ing ngasepi / Sinimpen telenging kalbu / Pambukaning wanara / Tarlen saking liyep layaping ngaluyup / Pindha sesating supena / Sumusiping rasa jati / Sajatine kang mangkana / Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi / Bali alaming asuwung / Tan karem karameyan / Ingkang sipat wisesa-winisesa wus / Milih mula-mulanira / Mulane wong anom sami”.

Manusia jawa (tiyang Jawi lan para sswane Jendra ) pada saat tertentu  rela/mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.

Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari Senin dan Kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan Puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni).

Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.

Tapabrata (bertapa)  
Tapabrata dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita  wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.

Orang Jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah:
1.   Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan. 
2.   Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
3.   Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
4.   Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
5.   Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
6.   Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
7.   Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
8.   Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
9.   Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
10. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
11. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.

Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapa pada orang Hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.




Tidak ada komentar: