Rabu, 24 Juli 2013

Cara Bung Karno Bermeditasi



Cara Bung Karno Bermeditasi

Memasuki sidang hari ke-4, Hari Jum’at Wage tanggal 1 Juni 1945, giliran Bung Karno menyampaikan pidato di hadapan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) untuk menyampakan dasar-dasar negara. Di kemudian hari kita mengenal hari itu sebagai Hari Lahir Pancasila. Itulah salah satu pidato monumental Bung Karno, di antara sekian banyak pidatonya yang mengguncang dunia.

Tahukah Anda, malam 1 Juni 1945 adalah malam paling meresahkan bagi Bung Karno. Meski dipejam-pejamkannya kedua mata, tak juga mampu mengundang kantuk. Dalam hal Indonesia merdeka, hatinya sudah bulat. Hakkul yakin. Dalam hal kemerdekaan hanya akan kekal dan abadi manakala dilandasi persatuan dan kesatuan, Bung Karno pun hakkul yakin. Meski begitu, ada perasaan yang menghendaki dorongan lebih untuk berbicara keesokan harinya.

Gelisah itu sungguh menggantu pikirannya. Bukan tentang materi apa yang akan dipidatokan keesokan harinya. Untuk berpidato di depan BPUPKI, Bung Karno bahkan tidak perlu mempersiapkannya dalam bentuk teks tertulis. Anehnya, masih ada perasaan yang kurang mantap pada dirinya. Bung Karno terus dan terus merenungkan itu sembari membolak-balikkan tubuhnya di atas dipan.

Ketika rasio terbentur tembok… manakala hati tak mampu lagi menyuarakan pendapatnya yang paling benar… Bung Karno hanya ingat, Tuhan-lah satu-satunya tempat ia bertanya. Hanya Tuhan yang mampu meredam kegundah-gulanaan perasaan. Ia tahu apa yang harus diperbuat. Turun dari tempat tidur, dan melangkahkan kaki ke luar rumah, persisnya ke bagian belakang rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Di belakang rumah, ia segera menekuk lutut berlutut, menengadahkan wajah ke atas, memohon petunjuk Allah SWT. Malam itu, malam Juma’at Wage tgl 1 bulan Juni tahun 1945 saat cuaca sangat cerah. Di atas, ia saksikan ribuan… ratusan ribu… mungkin jutaan bintang berkerlap dan berkerlip. Dalam posisi lutut tertekuk, muka menengadah, kedua tangan memohon… disaksikan ribuan bintang… Bung Karno menjadi seorang hamba Allah yang begitu kecil.

“Ya Allah Ya Rabbi… berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Indonesia merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, ya Allah ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus kukemukakan: Apakah dasar-dasar itu?”
Itulah lantunan doa Bung Karno kepada Allah SWT sebelum keesokan paginya berpidato di hadapan sidang BPUPKI. Usai berdoa, Bung Karno pun kembali masuk ke kamar dan membaringkan kembali tubuhnya di pembaringan. Ia menenangkan pikiran dan mencoba tidur. Entah karena permohonan sudah disampaikan, atau karena ia memang sudah lelah… tak lama kantuk datang menyerang dan Bung Karno pun terlelap.
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Setelah shalat shubuh, Bung Karno pun mendapatkan ilham Pancasila. Jawaban spontan dari Tuhan atas doa yang ia lantunkan semalam.

Kisah tersebut, acap disampaikan Bung Karno dalam pidatonya di berbagai kesempatan pasca kemerdekaan negara kita. Meski bukan yang pertama dan kedua, setiap Bung Karno menuturkan kegelisahan malam Juma’at Wage tgl 1 Juni 1945, kemudian beranjak ke belakang rumah, berlutut dan berdoa… hampir dapat dipastikan air mata pasti meleleh dari pipinya. Biasanya, Bung Karno akan berhenti berpidato sejenak dan berkat, “Maaf… kalau aku ingat hal ini selalu terharu….”.

Sabtu, 20 Juli 2013

Bung Karno Pelaku Kaweruh Jendra



Bung Karno meditasi? Hendaknya jangan dilihat sebagai sosok begawan, pendeta, atau kaum pertapa zaman Majapahit. Jika kita mendengar legenda, ephos, atau bahkan mitos tentang leluhur kita, istilah “bertapa/bermeditasi” sangatlah lazim. Sebuah kegiatan meditasi di tempat nun sunyi. Bayangan kita terlintas pada sesosok manusia duduk bersila di bawah pohon raksasa, dengan rambut menjuntai, duduk terpekur mata terpejam berhari-hari, berpuluh-puluh hari, bahkan berbulan-bulan….

Ngobrol soal bertapa, sempat menggelitik tanya, “Bagaimana mungkin manusia bisa tetap hidup tanpa makan-minum berhari-hari?” Saya pribadi baru menemukan jawabnya setelah mengikuti kelas “meditasi Kaweruh Jendra Hayuningrat” sekitar 30 tahun yang lalu. Memang agak susah dicerna awam, terlebih bagi yang belum pernah mengikuti kelas meditasi.

Sebelum saya menerima anugerah dari Sampean  Dalem Panjenengan Dalem Prabu Hamengku Buwono IX di Wisma Kaliurang Jogyakarta tahun 1988. Oleh Guru Lantaran Kaweruh Jendra Hayuningrat di tempat saya belajar meditasi, saya mendapat perintah untuk bermeditasi/bertapa di gunung Lawu selama 7x bulan purnama. Berdasarkan pengalaman inilah saya mencari tahu tentang apa yang membuat manusia tetap hidup (saya), walau berbulan-bulan tidak makan dan minum selama menjalani meditasi/bertapa di gunung Lawu.

Inilah analoginya, saat manusia bermeditasi, aktivitas ragawi mati total. Semua fungsi diambil-alih oleh “kesadaran jiwa”, hasil dari konsentrasi penuh  yang menggumpal (nyawiji) menjadi sebuah kekuatan nyata di luar kemampuan fisik manusia. Sebenarnya hal ini disebut proses “moksa”, yaitu proses melepaskan kesadaran diri dari raga.

Perlu diketahui bahwa di saat meditasi, raga memang tidak membutuhkan asupan makanan atau minuman. Kita semua tahu bahwa partikel-partikel yang terkandung dan bertebaran di dalam udara banyak mengandung oksigen. Melayang diudara dalam bentuk butiran-butiran halus mirip air embun.  Ia jatuh dan menempel di kulit lalu masuk melalui pori-pori kulit, terserap kedalam kulit dan menyatu dengan sel-sel darah dan mengalir menjadi energi keseluruh tubuh.

Anda masih ingat? Kapan terakhir kali Anda melihat butiran embun di dedaunan? Tanpa hujan, butiran embun tercipta, mewujud menjadi air dengan segala khasiatnya. Bersamaan terbitnya sang surya, embun pun menguap (atau terserap  kedalam daun?). Itu ilustrasi kongkrit, begitu pula tubuh seorang yang pertapa/melakukan meditasi hingga berhari-hari, tak ubahnya denga selembar daun di hutan, kulit manusia yang bertapa juga mendapat tetesan embun yang merasuk ke raganya dan menjadikan energi yang dibutuhkan bagi proses metabolisme tubuh si pertapa tersebut, sehingga orang yang bertapa tersebut mampu tidak makan, tidak minum hingga berhari-hari, berpuluh-puluh hari….bahkan tahunan.

Sukarno adalah salah satu dari “kakek-moyang” bagi kita di generasi jaman sekarang ini. Tentu sudah tidak  aneh lagi jika beliu juga melakukan meditasi, bertapa di tempat-tempat sunyi. Dalam suatu kesempatan, pada suatu hari Bung Karno pernah mengatakan, bahwa yang beliu lakukan sama sekali tidak ada hubungannya dengan klenik. Sama sekali bukan aktivitas mistik. “Itu (meditasi) adalah bagian dari kehidupan manusia yang ranahnya ada di dalam hati. Yang tentu saja tidak terpisahkan dari kehidupan dan akal yang ada.”

Bertapa, bermeditasi, adalah olah batin, olah rasa, olah hati. Aa Gym menyebutnya “manajemen qolbu”. Di luar kepercayaan atau stigma yang mendampingkan aktivitas bertapa dengan mencari kekuatan supranatural, maka bisa ditegaskan di sini, bahwa satu hal pasti, dengan bermeditasi, maka jiwa, hati, perasaan seseorang jauh lebih tertata. Wujudnya bisa menjadi maha bijaksana, pandai mengendalikan emosi atau perasaan.

Sang pertapa, akan memiliki kemampuan me-manage sebuah perisitwa buruk dalam satu genggaman. Di sana ada menyatu antara peristiwa buruk, sebab-akibat perisitwa itu terjadi, dampak dari peristiwa buruk yang mungkin terjadi, serta solusi atau kebijakan yang harus diambil. Nah, keseluruhan tadi, tertangkap dalam kesadaran seketika.

Contoh mudah… saat kita mengendari sepeda motor atau mobil. Tiba-tiba terjadi insiden (entah menabrak, entah ditabrak), nah bersamaan dengan terjadinya perisitiwa tadi, muncul kesadaran, bahwa yang baru saja terjadi adalah sebuah kecelakaan. Kita tidak menghendaki, si korban atau pelaku juga tidak menghendaki. Menyikapi dengan emosi, marah, kecewa, cemas, sama sekali bukan jalan keluar. Sebaliknya, jika kita menabrak, kita harus minta maaf dan bertanggung jawab. Jika kita yang ditabrak, sebaik-baiknya sikap adalah memaafkannya. Dan… berlalulah. Sebab, marah-marah tidak akan memperbaiki kerusakan, sebaliknya justru bikin lalu lintas tambah macet, lebih-lebih jika sampai berkelahi, maka kita bisa mencelakai orang lain, atau kita yang celaka. Jadi, so simple bukan? Itulah sebagian kecil dari cara berpikir alumni kelas meditasi… (ehemmm)….

Dalam konteks dahulu kala, orang bermeditasi di tengah hutan, jauh dari keramaian. Dalam konteks kekinian, masih ada yang melakukannya di tengah hutan, di tepi sungai jauh dari keramaian, tetapi ada juga yang dilakukan di kelas-kelas ber-AC, di dalam tempat peribadatan (misalnya berdzikir di masjid), dan aneka cara lain. Tetapi esensinya adalah “olah batin”, manajemen qolbu.
Jadi, mari kita meditasi…. Salam Kejawen _()_ salam Rahayu!