Sabtu, 24 Agustus 2013

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dinobatan pada th. 1940




Sri Sultan Hamengku Buwono IX dinobatan pada th. 1940. Beliau adalah Ayah dari Sultan Jogjakarta sekarang, Hamengku Buwono X yang sedang mencalonkan diri menjadi Presiden RI untuk periode 2009-2014.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX (12 April 1912 - 1 Oktober 1988) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun pada 12 April 1912, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau ber-kuliah di Universiteit Leiden, Belanda.
Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940
dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Songo".
Beliau merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong
kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa".
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet  yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden.

Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali
sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.

Lahirnya Yogyakarta



Mangkubumi Sang Inspirasi
Tak banyak kota yang mendapatkan inspirasi besar dari pendirinya. Semangat juang, kecakapan politis, kemampuan teknis dan yang paling mendasar adalah keluhuran jiwa Pangéran Mangkubumi selalu menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya yang menghuni dan mengembangkan Yogyakarta. Mangkubumi lahir dan tumbuh di saat Jawa sedang mengalami masa sulit karena pengaruh VOC yang kian mendesak dan kemelut antar pemuka Jawa yang makin rumit membelit. Kecakapan dan kepribadiannya menjadikan Sang Pangeran mampu untuk mengambil peran strategis yang menentukan masa depan negrinya dan mendirikan kota yang penting di Indonesia.

Kerajaan Mataram yang beribukota Kartasura di bawah Sunan Amangkurat IV, ayahanda Bandara Pangeran Harya Mangkubumi dengan ibu Mas Ayu Tejawati, mengalami masa yang penuh konflik. Pemberontakan silih berganti di berbagai penjuru negri. Kerumitan ini berlanjut dan bahkan kian membesar karena melibatkan pihak-pihak yang lebih luas pada masa pemerintahan kakandanya, Sunan Pakubuwana II, yang berpuncak pada peristiwa yang dikenal sebagai Huru-hara Cina atau Gègèr Pacina. Dalam kerusuhan ini Sunan tersingkir dan istana diduduki oleh Mas Garendi, salah satu tokoh kerusuhan tersebut. Dengan dukungan Kompeni, Sunan berhasil menghalau para perusuh. Dukungan Kompeni ini didapat dengan harga yang sangat mahal. Sunan harus merelakan wilayah kekuasaannya di sepanjang pesisir utara Jawa disewa oleh Kompeni.

Karena ibu negri sudah telanjur ternoda, maka kota pusat pemerintahan dan istana baru pun didirikan di Surakarta. Mangkubumi berperan penting sebagai arsitek dalam pembangunan istana baru ini. Dengan kearifan, kecerdasan, kesalehan dan kecakapan teknisnya, Mangkubumi memang sangat dekat dengan Pakubuwana II.

Serat Cabolek menggambarkan sisi intelektual dan spiritual Mangkubumi. Sang Pangeran
Pentingnya mesu budi . . . . .

Memilih Keluar dan Berjuang
Ketidakpuasan yang berujung pada pertikaian bersenjata antar ningrat Jawa masih merebak di masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II. Yang terbesar di antaranya adalah yang dipimpin Radèn Mas Said dan Tumenggung Martapura. Karena berhasil meredam pemberontakan ini, Mangkubumi dianugerahi kekuasaan atas tanah seluas 3.000 cacah di daerah Sukawati.

Hadiah besar ini menjadikan kedengkian Adipati Pringgalaya, saudara ipar Mangkubumi dan Patih Surakarta, kian membara. Dengan dalih agar tidak menimbulkan iri hati para pangeran lainnya, Pringgalaya mengusulkan kepada Sunan dan Gubernur Jendral Baron van Imhoff yang sedang berkunjung ke Surakarta agar anugerah tersebut dicabut.

Kunjungan Baron van Imhoff pada tahun 1745 itu pada pokoknya merumuskan lebih lanjut penyerahan Pesisir Utara yang telah disepakati Sunan dalam pelariannya di Panaraga guna mendapatkan dukungan VOC dalam menghalau lawan-lawan politiknya.

Dari Kabanaran ke Giyanti
Perlawanan Mangkubumi bukan hanya bersifat pribadi tapi juga memberi kesempatan bagi elit ningrat Jawa untuk menentukan pemihakan. Dengan demikian gerakan ini dapat dipahami juga sebagai penggalangan kerjasama dengan para pemuka masyarakat. Ketika kedudukannya kian menguat, bagi Mangkubumi terdapat pilihan apakah akan mempermaklumkan diri secara mandiri sebagai raja Mataram dengan dukungan tokoh-tokoh sekitarnya ataukan akan menjalin kesepakatan dengan Kompeni. Masa antara tahun 1749-1755 menunjukkan kesigapan Mangkubumi dalam menanggapi situasi dan menentukan pilihan hingga menuju ke terbentuknya negri Yogyakarta.

Dalam perlawanannya, Pangeran Mangkubumi menjalin persekutuan dengan banyak pihak yang juga yakin bahwa perjuangannya akan membawa pada kebaikan. Yang paling menonjol adalah persekutuannya dengan Mas Said, bekas musuh besarnya yang dulu ditumpas pemberontakannya. Segera setelah Mangkubumi meloloskan diri dari kalangan istana, Mas Said bergabung menjadi sekutu utamanya. Pertalian ini makin kokoh setelah Mangkubumi menikahkan Mas Said dengan putrinya, Ratu Bendara. Hubungan Mangkubumi menggalang kesetiaan berbagai pihak ini dengan cepat berkembang. Pada tahun 1746 pengikutnya berjumlah 3.000 orang dan pada akhir 1747 sudah mencapai 13.000 orang.

Kondisi fisik Sunan Pakubuwana II kian memburuk dan kedudukannya kian terjepit. Sebaliknya, perlawanan Mangkubumi mendapat dukungan yang kian meluas. Dalam situasi yang berkembang seperti ini beberapa pemuka di sekitar Mangkubumi mendesaknya supaya mempermaklumkan diri sebagai raja atas negri Mataram yang berdaulat. Namun demikian, tampaknya Sang Pangeran masih menghormati kakandanya sehingga tak ingin melampaui kewenangannya.

Ketika tersiar kabar di akhir tahun 1749 bahwa kondisi kesehatan Sunan kian memburuk dan sudah memasuki masa kritis, Mas Said mendesak Pangeran Mangkubumi untuk segera menobatkan diri sebagai pewaris tahta Mataram. Setelah mempertimbangkan berbagai hal dengan seksama, akhirnya di Desa Kabanaran pada hari Jum'at Legi tanggal 1 Sura, tahun Alip 1675 dengan candra sangkala Marganing Swara Retuning Bumi atau tanggal 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi bersedia dipermaklumkan sebagai raja Mataram oleh rakyat pendukungnya dengan gelar Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Dari sumber lain menyebutkan bahwa gelar P. Mangkubumi setelah menjadi raja adalah Susuhunan ing Mataram Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandireng Amengku Tlatah ing Nuswa Jawa. Mas Said pun kemudian diangkat sebagai patihnya.

Tepat pada hari yang sama dengan penobatan Mangkubumi, Pakubuwana II yang merasa akhir hayatnya kian dekat dan tak ada pihak yang dipandangnya mampu untuk menjaga keutuhan Mataram selain VOC. Baginda pun kemudian menyerahkan Kompeni Belanda—yang diwakili oleh Baron van Hogendorff, Gubernur VOC untuk Pantai Timur Laut Jawa yang juga bekas komandan garnisun Kompeni di Kartasura—keselamatan anak keturunannya, segala harta warisan yang mestinya mereka terima, serta kedaulatan negri sepenuhnya. Empat hari berikutnya, van Hogendorff melantik Putra Mahkota sebagai Sunan Pakubuwana III. Pada tanggal 20 Desember 1749 Sunan Pakubuwana II pun wafat dan dimakamkan di Laweyan karena situasi tak memungkinkan untuk mengebumikan jenazah baginda di pemakaman raja Mataram di Imogiri.

Dua penobatan terjadi untuk menjadi pewaris tahta Mataram. Mangkubumi dirajakan karena dukungan penuh pengikut dan para pangeran yang mendukungnya. Sedangkan Putra Mahkota Surakarta menduduki tahta karena perlindungan Kompeni belaka.

Setelah kedua penobatan ini perlawanan Mangkubumi makin menghebat. Makin banyak pihak, terutama para bupati mancanegara, yakni penguasa semi-otonom yang berkedudukan jauh dari Surakarta, seperti Tumenggung Prawirasentika dari Madiun, Tumenggung Yudanegara dari Banyumas dan Tumenggung Alap-alap dari . . . Persekutuan ini meluas bahkan sampai menjangkau pasukan-pasukan yang berasal dari luar Jawa. Hal ini tampak pada serangan pasukan Mangkubumi terhadap Pekalongan pada tanggal 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah dan menyatakan bergabung dengan Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis, lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daheng dari Makassar dan Ternate. Pasukan inilah yang nanti menjadi cikal bakal Korps Prajurit Kraton Yogyakarta.

Dengan banyaknya pihak yang bergabung, Sunan Mangkubumi merasa perlu untuk menguji kesetiaan dan semangat juang mereka. Mangkubumi memimpin pasukannya untuk menggempur benteng Kompeni di Ungaran sebagai ujicoba konsolidasi pasukan. Tersiar kabar bahwa jika mereka berhasil menduduki benteng ini maka akan mendapat kejayaan yang sempurna. Setelah pertempuran sengit, memang akhirnya Benteng Ungaran jatuh ke tangan Mangkubumi yang bahkan berakibat Gubernur Jendral Baron van Imhoff terluka parah.

Perang juga merupakan kesempatan untuk membangun dan menguji solidaritas sosial sehingga di masa damai nanti dapat menjadi landasan yang kokoh untuk membina masyarakat. Pertempuran di Jenar (sumber Belanda menyebut di Bagawanta) menelan banyak korban di kedua belah pihak. Belanda bahkan menawan banyak pengikut Mangkubumi termasuk di dalamnya para wanita. Di mata Mangkubumi para wanita adalah anggota keluarga yang perlu dijaga dan dimuliakan, maka sangat nista jika pasukannya tak mampu merebut kembali tawanan tersebut di pertempuran keesokan harinya, sementara pemuka-pemuka pasukannya yang mulai ciut hati mereka menyaksikan keperkasaan musuh. Ketika Mangkubumi menanyakan pendapat mereka tentang apakah harus segera menyerbu untuk membebaskan tawanan tersebut, mereka hanya menjawab: “Jika ada titah Paduka, maka kami akan laksanakan juga”.

Merasakan kegentaran dan tekad yang kurang bulat Mangkubumi menanggapi, “Apa jadinya jika semua hanya menjadi penurut belaka. Jika aku belum berhasil menyatukan tekad antara kawula dan gustinya, sungguh, apapun yang dicita-citakan tak akan terlaksana.” Dengan tegas di akhir sabdanya, “Kalau begitu, kakanda Pangeran Hadiwijaya serta semua yang hadir, aku sendiri yang akan memimpin merebut para tawanan, mereka saudaraku dan saudara semua yang ada di sini. Jika aku belum gugur di sana, yang lain jangan ada yang menyusul ke medan laga.” Mendengar ketegasan dan kegusaran baginda, semua tergugah semangatnya, “Biar kami yang bertempur, jangan Paduka bertindak sebelum kami semua tewas.” Kemudian, Mangkubumi mengatur pasukan sambil menegaskan “Jika ada pangeran atau punggawa yang lari dari pertempuran karena takut, aku sendiri yang akan membunuhnya”.

Pertempuran sangatlah sengit, dengan penuh semangat pasukan Mangkubumi menyerang. Banyak korban di pihak Kompeni. Bahkan komandan pasukan ini, Mayor Clerq terbunuh di tangan Prawirarana salah satu anggota korps Mantrijero. Tombak yang digunakan untuk menghabisi sang komandan ini kemudian dijadikan pusaka Kraton dengan nama Kangjeng Kyai Clerq.

Di Surakarta makin banyak ningrat yang keluar dan bergabung dengan Mangkubumi. Belanda juga makin terdesak dan tak sepenuhnya paham dengan kerumitan konflik antar elit di Jawa. Van Hogendorff diganti dengan Nicholas Hartingh yang lebih menghayati budaya Jawa dan fasih berbahasa Jawa. Segera Hartingh mengganti pendekatan kepada Mangkubumi menjadi lebih kompromistis.

Berbeda dengan pendekatan yang sebelumnya diterapkan pada pertikaian antar ningrat Jawa. Biasanya Kompeni mendukung salah satu pihak untuk menghabisi pihak yang lain. Tapi kini pihak yang akan ditumpas tampaknya terlalu kuat, sehingga Kompeni pun menawarkan perdamaian dengan membagi wilayah Mataram yang telah diserahkan padanya oleh Pakubuwana II berdasar perjanjian 1749. Mangkubumi juga mengisyaratkan kecenderungan pada kesepakatan damai. Kompeni mengirim seorang keturunan Turki bernama Syarif Besar Syeh Ibrahim yang disebut sebagai utusan Sultan Rum di Istanbul sebagai kurir karena dipandang memiliki wibawa tersendiri di mata Mangkubumi yang taat beragama.

Menjelang akhir tahun 1754 Hartingh bertemu langsung dengan Sunan Mangkubumi di Pedagangan Grobogan. Beberapa hal terpenting dapat disepakati seperti pembagian wilayah Mataram menjadi dua dengan merujuk pada masa Demak-Pajang, satu penguasa akan memakai gelar Sunan sedangkan yang lain Sultan, begitu pula uang sewa pesisir utara sebesar 20.000 real per tahun yang selama ini diterima Pakubuwana.

Meskipun telah disepakati bahwa Mangkubumi akan memegang kuasa atas separuh wilayah Mataram, namun tentang letak wilayah tersebut keduanya tidak bersepakat. Berdasar fakta bahwa basis pengaruh perlawanannya berada di sebelah timur, maka Hartingh mengusulkan agar Mangkubumi menguasai belahan timur negri Mataram sedangkan Pakubuwana di belahan barat. Dengan bersikukuh bahwa ibu negri yang baru haruslah tetap berada di sekitar tanah pusaka Mataram di Jawa Tengah, Mangkubumi menolak usulan ini dengan tegas. Akhirnya Kompeni pun menyetujui asalkan Mangkubumi sama sekali tidak boleh menuntut hak atas pesisir utara.

Akhirnya, Perjanjian Perdamaian (Traktat reconciliatie) antara Mangkubumi dan Kompeni disetujui dan ditandatangani di desa Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang lebih terkenal dengan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.

Membangun Yogyakarta
PERISTIWA TARIKH JAWA TARIKH MASEHI
BRM Sujana lahir Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M
Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M
BRM Sujana dilantik menjadi BPH Mangkubumi
Mangkubumi meloloskan diri dari Surakarta 19 Mei 1746
Penobatan Mangkubumi di Kabanaran Jum'at Legi, 1 Sura tahun Alip 1675 Jumat Legi, 11 Desember 1749
Pakubuwana II menyerahakan tahta dan negri Mataram kepada Kompeni Jum'at Legi, 1 Sura tahun Alip 1675 Jumat Legi, 11 Desember 1749
Putra Mahkota Surakarta dinobatkan sebagai Pakubuwana III Selasa Kliwon, 5 Sura tahun Alip 1675 Ahad Kliwon, 15 Desember 1749
Sunan Pakubuwana II mangkat di Surakarta Ahad Kliwon, 10 Sura tahun Alip 1675 Ahad Kliwon, 20 Desember 1749
Prawirarana membunuh Mayor Clercq di Jenar/Bagawanta Minggu Legi, 22 Sura tahun Jimawal 1677 J Minggu Legi, 12 Desember 1751 M
Serbuan Mangkubumi ke Pekalongan Sabtu Pon, 1 Jumadilawal tahun Jimawal 1677 J Sabtu Pon, 20 Maret 1752
Pertemuan Pedagangan Grobogan (Mangkubumi-Hartingh) 22 - 23 September 1754.
Perjanjian Palihan Nagari di Giyanti Kamis Kliwon, 29 Rabiulakhir, Be 1680 tahun Jawa, wuku Langkir Kamis Kliwon, 13 Februari 1755
Pertemuan Jatisari (Mangkubumi-Pakubuwana III-Hartingh)
Hamengkubuwana mengumumkan nama negrinya Ngayogyakarta Hadiningrat
(Hadeging negari dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta) Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut Kamis Pon, 13 Maret 1755
Sultan tinggal di Ambarketawang dan memerintahkan pembangunan Yogyakarta Kamis Pon 3 Sura,Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut Kamis Pon, 9 Oktober 1755 M
Kepindahan Sultan dari Ambarketawang
(Berdirinya Kota Yogyakarta) Kamis Pahing, 13 Sura, Jimakir 1682 tahun Jawa, wuku Julungwangi Kamis Pahing, 7 Oktober 1756 M