Rahayu...!
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin
kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau
ruh, maka sembah rasa berarti
menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang
belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang
menurut Mangkunegara IV disebut telenging
kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
Dengan
demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat
batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing
jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan
sembah rasa itu tidak lagi memerlukan
petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus
dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan
Mangkunegara IV dalam bait berikut:
“Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur
/ sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing
bato”.
Apabila
sembah jiwa dipandang sebagai sembah
pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan
bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat
tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang
dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang
salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia
diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat
sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.
Pada
tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia
dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah
cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya
sendiri.
Di
sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa
menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama.
Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga
kepada Tambangraras dalam Centini
bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat
mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan
bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri
dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk
melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju
kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat
pada bait berikut:
“Iku luwih banget gawat neki / ing rar’asantang keneng
rinasa / tan kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang
ening / sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng
sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya”. Rahayu...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar