Mangkubumi
Sang Inspirasi
Tak banyak
kota yang mendapatkan inspirasi besar dari pendirinya. Semangat juang,
kecakapan politis, kemampuan teknis dan yang paling mendasar adalah keluhuran
jiwa Pangéran Mangkubumi selalu menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya yang
menghuni dan mengembangkan Yogyakarta. Mangkubumi lahir dan tumbuh di saat Jawa
sedang mengalami masa sulit karena pengaruh VOC yang kian mendesak dan kemelut
antar pemuka Jawa yang makin rumit membelit. Kecakapan dan kepribadiannya
menjadikan Sang Pangeran mampu untuk mengambil peran strategis yang menentukan
masa depan negrinya dan mendirikan kota yang penting di Indonesia.
Kerajaan
Mataram yang beribukota Kartasura di bawah Sunan Amangkurat IV, ayahanda
Bandara Pangeran Harya Mangkubumi dengan ibu Mas Ayu Tejawati, mengalami masa
yang penuh konflik. Pemberontakan silih berganti di berbagai penjuru negri.
Kerumitan ini berlanjut dan bahkan kian membesar karena melibatkan pihak-pihak
yang lebih luas pada masa pemerintahan kakandanya, Sunan Pakubuwana II, yang
berpuncak pada peristiwa yang dikenal sebagai Huru-hara Cina atau Gègèr Pacina.
Dalam kerusuhan ini Sunan tersingkir dan istana diduduki oleh Mas Garendi,
salah satu tokoh kerusuhan tersebut. Dengan dukungan Kompeni, Sunan berhasil
menghalau para perusuh. Dukungan Kompeni ini didapat dengan harga yang sangat
mahal. Sunan harus merelakan wilayah kekuasaannya di sepanjang pesisir utara
Jawa disewa oleh Kompeni.
Karena ibu
negri sudah telanjur ternoda, maka kota pusat pemerintahan dan istana baru pun
didirikan di Surakarta. Mangkubumi berperan penting sebagai arsitek dalam
pembangunan istana baru ini. Dengan kearifan, kecerdasan, kesalehan dan
kecakapan teknisnya, Mangkubumi memang sangat dekat dengan Pakubuwana II.
Serat
Cabolek menggambarkan sisi intelektual dan spiritual Mangkubumi. Sang Pangeran
Pentingnya
mesu budi . . . . .
Memilih
Keluar dan Berjuang
Ketidakpuasan
yang berujung pada pertikaian bersenjata antar ningrat Jawa masih merebak di
masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II. Yang terbesar di antaranya adalah yang
dipimpin Radèn Mas Said dan Tumenggung Martapura. Karena berhasil meredam
pemberontakan ini, Mangkubumi dianugerahi kekuasaan atas tanah seluas 3.000
cacah di daerah Sukawati.
Hadiah besar
ini menjadikan kedengkian Adipati Pringgalaya, saudara ipar Mangkubumi dan
Patih Surakarta, kian membara. Dengan dalih agar tidak menimbulkan iri hati
para pangeran lainnya, Pringgalaya mengusulkan kepada Sunan dan Gubernur
Jendral Baron van Imhoff yang sedang berkunjung ke Surakarta agar anugerah
tersebut dicabut.
Kunjungan
Baron van Imhoff pada tahun 1745 itu pada pokoknya merumuskan lebih lanjut
penyerahan Pesisir Utara yang telah disepakati Sunan dalam pelariannya di
Panaraga guna mendapatkan dukungan VOC dalam menghalau lawan-lawan politiknya.
Dari
Kabanaran ke Giyanti
Perlawanan
Mangkubumi bukan hanya bersifat pribadi tapi juga memberi kesempatan bagi elit
ningrat Jawa untuk menentukan pemihakan. Dengan demikian gerakan ini dapat
dipahami juga sebagai penggalangan kerjasama dengan para pemuka masyarakat.
Ketika kedudukannya kian menguat, bagi Mangkubumi terdapat pilihan apakah akan
mempermaklumkan diri secara mandiri sebagai raja Mataram dengan dukungan
tokoh-tokoh sekitarnya ataukan akan menjalin kesepakatan dengan Kompeni. Masa
antara tahun 1749-1755 menunjukkan kesigapan Mangkubumi dalam menanggapi
situasi dan menentukan pilihan hingga menuju ke terbentuknya negri Yogyakarta.
Dalam
perlawanannya, Pangeran Mangkubumi menjalin persekutuan dengan banyak pihak
yang juga yakin bahwa perjuangannya akan membawa pada kebaikan. Yang paling
menonjol adalah persekutuannya dengan Mas Said, bekas musuh besarnya yang dulu
ditumpas pemberontakannya. Segera setelah Mangkubumi meloloskan diri dari
kalangan istana, Mas Said bergabung menjadi sekutu utamanya. Pertalian ini
makin kokoh setelah Mangkubumi menikahkan Mas Said dengan putrinya, Ratu
Bendara. Hubungan Mangkubumi menggalang kesetiaan berbagai pihak ini dengan
cepat berkembang. Pada tahun 1746 pengikutnya berjumlah 3.000 orang dan pada
akhir 1747 sudah mencapai 13.000 orang.
Kondisi
fisik Sunan Pakubuwana II kian memburuk dan kedudukannya kian terjepit.
Sebaliknya, perlawanan Mangkubumi mendapat dukungan yang kian meluas. Dalam
situasi yang berkembang seperti ini beberapa pemuka di sekitar Mangkubumi
mendesaknya supaya mempermaklumkan diri sebagai raja atas negri Mataram yang
berdaulat. Namun demikian, tampaknya Sang Pangeran masih menghormati kakandanya
sehingga tak ingin melampaui kewenangannya.
Ketika tersiar
kabar di akhir tahun 1749 bahwa kondisi kesehatan Sunan kian memburuk dan sudah
memasuki masa kritis, Mas Said mendesak Pangeran Mangkubumi untuk segera
menobatkan diri sebagai pewaris tahta Mataram. Setelah mempertimbangkan
berbagai hal dengan seksama, akhirnya di Desa Kabanaran pada hari Jum'at Legi
tanggal 1 Sura, tahun Alip 1675 dengan candra sangkala Marganing Swara Retuning
Bumi atau tanggal 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi bersedia dipermaklumkan
sebagai raja Mataram oleh rakyat pendukungnya dengan gelar Sampeyan Dalem
Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama
Kalifatullah. Dari sumber lain menyebutkan bahwa gelar P. Mangkubumi setelah
menjadi raja adalah Susuhunan ing Mataram Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman
Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandireng Amengku Tlatah ing Nuswa
Jawa. Mas Said pun kemudian diangkat sebagai patihnya.
Tepat pada
hari yang sama dengan penobatan Mangkubumi, Pakubuwana II yang merasa akhir
hayatnya kian dekat dan tak ada pihak yang dipandangnya mampu untuk menjaga
keutuhan Mataram selain VOC. Baginda pun kemudian menyerahkan Kompeni
Belanda—yang diwakili oleh Baron van Hogendorff, Gubernur VOC untuk Pantai
Timur Laut Jawa yang juga bekas komandan garnisun Kompeni di Kartasura—keselamatan
anak keturunannya, segala harta warisan yang mestinya mereka terima, serta
kedaulatan negri sepenuhnya. Empat hari berikutnya, van Hogendorff melantik
Putra Mahkota sebagai Sunan Pakubuwana III. Pada tanggal 20 Desember 1749 Sunan
Pakubuwana II pun wafat dan dimakamkan di Laweyan karena situasi tak
memungkinkan untuk mengebumikan jenazah baginda di pemakaman raja Mataram di
Imogiri.
Dua
penobatan terjadi untuk menjadi pewaris tahta Mataram. Mangkubumi dirajakan
karena dukungan penuh pengikut dan para pangeran yang mendukungnya. Sedangkan
Putra Mahkota Surakarta menduduki tahta karena perlindungan Kompeni belaka.
Setelah
kedua penobatan ini perlawanan Mangkubumi makin menghebat. Makin banyak pihak,
terutama para bupati mancanegara, yakni penguasa semi-otonom yang berkedudukan
jauh dari Surakarta, seperti Tumenggung Prawirasentika dari Madiun, Tumenggung
Yudanegara dari Banyumas dan Tumenggung Alap-alap dari . . . Persekutuan ini
meluas bahkan sampai menjangkau pasukan-pasukan yang berasal dari luar Jawa.
Hal ini tampak pada serangan pasukan Mangkubumi terhadap Pekalongan pada
tanggal 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah
dan menyatakan bergabung dengan Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis,
lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daheng dari Makassar dan
Ternate. Pasukan inilah yang nanti menjadi cikal bakal Korps Prajurit Kraton
Yogyakarta.
Dengan
banyaknya pihak yang bergabung, Sunan Mangkubumi merasa perlu untuk menguji
kesetiaan dan semangat juang mereka. Mangkubumi memimpin pasukannya untuk
menggempur benteng Kompeni di Ungaran sebagai ujicoba konsolidasi pasukan.
Tersiar kabar bahwa jika mereka berhasil menduduki benteng ini maka akan
mendapat kejayaan yang sempurna. Setelah pertempuran sengit, memang akhirnya
Benteng Ungaran jatuh ke tangan Mangkubumi yang bahkan berakibat Gubernur
Jendral Baron van Imhoff terluka parah.
Perang juga
merupakan kesempatan untuk membangun dan menguji solidaritas sosial sehingga di
masa damai nanti dapat menjadi landasan yang kokoh untuk membina masyarakat.
Pertempuran di Jenar (sumber Belanda menyebut di Bagawanta) menelan banyak
korban di kedua belah pihak. Belanda bahkan menawan banyak pengikut Mangkubumi
termasuk di dalamnya para wanita. Di mata Mangkubumi para wanita adalah anggota
keluarga yang perlu dijaga dan dimuliakan, maka sangat nista jika pasukannya
tak mampu merebut kembali tawanan tersebut di pertempuran keesokan harinya,
sementara pemuka-pemuka pasukannya yang mulai ciut hati mereka menyaksikan
keperkasaan musuh. Ketika Mangkubumi menanyakan pendapat mereka tentang apakah
harus segera menyerbu untuk membebaskan tawanan tersebut, mereka hanya
menjawab: “Jika ada titah Paduka, maka kami akan laksanakan juga”.
Merasakan
kegentaran dan tekad yang kurang bulat Mangkubumi menanggapi, “Apa jadinya jika
semua hanya menjadi penurut belaka. Jika aku belum berhasil menyatukan tekad
antara kawula dan gustinya, sungguh, apapun yang dicita-citakan tak akan
terlaksana.” Dengan tegas di akhir sabdanya, “Kalau begitu, kakanda Pangeran
Hadiwijaya serta semua yang hadir, aku sendiri yang akan memimpin merebut para
tawanan, mereka saudaraku dan saudara semua yang ada di sini. Jika aku belum
gugur di sana, yang lain jangan ada yang menyusul ke medan laga.” Mendengar
ketegasan dan kegusaran baginda, semua tergugah semangatnya, “Biar kami yang
bertempur, jangan Paduka bertindak sebelum kami semua tewas.” Kemudian,
Mangkubumi mengatur pasukan sambil menegaskan “Jika ada pangeran atau punggawa
yang lari dari pertempuran karena takut, aku sendiri yang akan membunuhnya”.
Pertempuran
sangatlah sengit, dengan penuh semangat pasukan Mangkubumi menyerang. Banyak
korban di pihak Kompeni. Bahkan komandan pasukan ini, Mayor Clerq terbunuh di
tangan Prawirarana salah satu anggota korps Mantrijero. Tombak yang digunakan
untuk menghabisi sang komandan ini kemudian dijadikan pusaka Kraton dengan nama
Kangjeng Kyai Clerq.
Di Surakarta
makin banyak ningrat yang keluar dan bergabung dengan Mangkubumi. Belanda juga
makin terdesak dan tak sepenuhnya paham dengan kerumitan konflik antar elit di
Jawa. Van Hogendorff diganti dengan Nicholas Hartingh yang lebih menghayati
budaya Jawa dan fasih berbahasa Jawa. Segera Hartingh mengganti pendekatan
kepada Mangkubumi menjadi lebih kompromistis.
Berbeda
dengan pendekatan yang sebelumnya diterapkan pada pertikaian antar ningrat
Jawa. Biasanya Kompeni mendukung salah satu pihak untuk menghabisi pihak yang
lain. Tapi kini pihak yang akan ditumpas tampaknya terlalu kuat, sehingga
Kompeni pun menawarkan perdamaian dengan membagi wilayah Mataram yang telah
diserahkan padanya oleh Pakubuwana II berdasar perjanjian 1749. Mangkubumi juga
mengisyaratkan kecenderungan pada kesepakatan damai. Kompeni mengirim seorang
keturunan Turki bernama Syarif Besar Syeh Ibrahim yang disebut sebagai utusan
Sultan Rum di Istanbul sebagai kurir karena dipandang memiliki wibawa
tersendiri di mata Mangkubumi yang taat beragama.
Menjelang
akhir tahun 1754 Hartingh bertemu langsung dengan Sunan Mangkubumi di
Pedagangan Grobogan. Beberapa hal terpenting dapat disepakati seperti pembagian
wilayah Mataram menjadi dua dengan merujuk pada masa Demak-Pajang, satu
penguasa akan memakai gelar Sunan sedangkan yang lain Sultan, begitu pula uang
sewa pesisir utara sebesar 20.000 real per tahun yang selama ini diterima
Pakubuwana.
Meskipun
telah disepakati bahwa Mangkubumi akan memegang kuasa atas separuh wilayah
Mataram, namun tentang letak wilayah tersebut keduanya tidak bersepakat.
Berdasar fakta bahwa basis pengaruh perlawanannya berada di sebelah timur, maka
Hartingh mengusulkan agar Mangkubumi menguasai belahan timur negri Mataram
sedangkan Pakubuwana di belahan barat. Dengan bersikukuh bahwa ibu negri yang
baru haruslah tetap berada di sekitar tanah pusaka Mataram di Jawa Tengah, Mangkubumi
menolak usulan ini dengan tegas. Akhirnya Kompeni pun menyetujui asalkan
Mangkubumi sama sekali tidak boleh menuntut hak atas pesisir utara.
Akhirnya,
Perjanjian Perdamaian (Traktat reconciliatie) antara Mangkubumi dan Kompeni
disetujui dan ditandatangani di desa Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang
lebih terkenal dengan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.
Membangun
Yogyakarta
PERISTIWA
TARIKH JAWA TARIKH MASEHI
BRM Sujana
lahir Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M
Rabu Pon, 27
Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M
BRM Sujana dilantik menjadi BPH Mangkubumi
Mangkubumi meloloskan diri dari Surakarta 19 Mei 1746
Penobatan Mangkubumi di Kabanaran Jum'at Legi, 1 Sura tahun Alip 1675 Jumat
Legi, 11 Desember 1749
Pakubuwana II menyerahakan tahta dan negri Mataram kepada Kompeni Jum'at Legi,
1 Sura tahun Alip 1675 Jumat Legi, 11 Desember 1749
Putra Mahkota Surakarta dinobatkan sebagai Pakubuwana III Selasa Kliwon, 5 Sura
tahun Alip 1675 Ahad Kliwon, 15 Desember 1749
Sunan Pakubuwana II mangkat di Surakarta Ahad Kliwon, 10 Sura tahun Alip 1675
Ahad Kliwon, 20 Desember 1749
Prawirarana membunuh Mayor Clercq di Jenar/Bagawanta Minggu Legi, 22 Sura tahun
Jimawal 1677 J Minggu Legi, 12 Desember 1751 M
Serbuan Mangkubumi ke Pekalongan Sabtu Pon, 1 Jumadilawal tahun Jimawal 1677 J
Sabtu Pon, 20 Maret 1752
Pertemuan Pedagangan Grobogan (Mangkubumi-Hartingh) 22 - 23 September 1754.
Perjanjian Palihan Nagari di Giyanti Kamis Kliwon, 29 Rabiulakhir, Be 1680
tahun Jawa, wuku Langkir Kamis Kliwon, 13 Februari 1755
Pertemuan Jatisari (Mangkubumi-Pakubuwana III-Hartingh)
Hamengkubuwana mengumumkan nama negrinya Ngayogyakarta Hadiningrat
(Hadeging negari dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta) Kamis Pon, 29 Jumadilawal,
Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut Kamis Pon, 13 Maret 1755
Sultan tinggal di Ambarketawang dan memerintahkan pembangunan Yogyakarta Kamis
Pon 3 Sura,Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut Kamis Pon, 9 Oktober 1755 M
Kepindahan Sultan dari Ambarketawang
(Berdirinya Kota Yogyakarta) Kamis Pahing, 13 Sura, Jimakir 1682 tahun Jawa,
wuku Julungwangi Kamis Pahing, 7 Oktober 1756 M