Cara Bung
Karno Bermeditasi
Memasuki sidang hari ke-4, Hari Jum’at Wage tanggal 1 Juni 1945, giliran
Bung Karno menyampaikan pidato di hadapan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) untuk
menyampakan dasar-dasar negara. Di kemudian hari kita mengenal hari itu sebagai
Hari Lahir Pancasila. Itulah salah satu pidato monumental Bung Karno, di antara
sekian banyak pidatonya yang mengguncang dunia.
Tahukah Anda, malam 1 Juni 1945 adalah malam paling
meresahkan bagi Bung Karno. Meski dipejam-pejamkannya kedua mata, tak juga
mampu mengundang kantuk. Dalam hal Indonesia merdeka, hatinya sudah bulat.
Hakkul yakin. Dalam hal kemerdekaan hanya akan kekal dan abadi manakala
dilandasi persatuan dan kesatuan, Bung Karno pun hakkul yakin. Meski begitu,
ada perasaan yang menghendaki dorongan lebih untuk berbicara keesokan harinya.
Gelisah itu sungguh menggantu pikirannya. Bukan
tentang materi apa yang akan dipidatokan keesokan harinya. Untuk berpidato di
depan BPUPKI, Bung Karno bahkan tidak perlu mempersiapkannya dalam bentuk teks tertulis.
Anehnya, masih ada perasaan yang kurang mantap pada dirinya. Bung Karno terus
dan terus merenungkan itu sembari membolak-balikkan tubuhnya di atas dipan.
Ketika rasio terbentur tembok… manakala hati tak mampu
lagi menyuarakan pendapatnya yang paling benar… Bung Karno hanya ingat,
Tuhan-lah satu-satunya tempat ia bertanya. Hanya Tuhan yang mampu meredam
kegundah-gulanaan perasaan. Ia tahu apa yang harus diperbuat. Turun dari tempat
tidur, dan melangkahkan kaki ke luar rumah, persisnya ke bagian belakang
rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Di belakang rumah, ia segera menekuk lutut berlutut,
menengadahkan wajah ke atas, memohon petunjuk Allah SWT. Malam itu, malam
Juma’at Wage tgl 1 bulan Juni tahun 1945 saat cuaca sangat cerah. Di atas, ia
saksikan ribuan… ratusan ribu… mungkin jutaan bintang berkerlap dan berkerlip.
Dalam posisi lutut tertekuk, muka menengadah, kedua tangan memohon… disaksikan
ribuan bintang… Bung Karno menjadi seorang hamba Allah yang begitu kecil.
“Ya Allah Ya Rabbi… berikanlah ilham kepadaku. Besok
pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Indonesia merdeka. Pertama,
benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas
persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, ya Allah ya Rabbi, berikanlah petunjuk
kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus
kukemukakan: Apakah dasar-dasar itu?”
Itulah lantunan doa Bung Karno kepada Allah SWT
sebelum keesokan paginya berpidato di hadapan sidang BPUPKI. Usai berdoa, Bung
Karno pun kembali masuk ke kamar dan membaringkan kembali tubuhnya di
pembaringan. Ia menenangkan pikiran dan mencoba tidur. Entah karena permohonan
sudah disampaikan, atau karena ia memang sudah lelah… tak lama kantuk datang
menyerang dan Bung Karno pun terlelap.
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali ia sudah bangun.
Setelah shalat shubuh, Bung Karno pun mendapatkan ilham Pancasila. Jawaban
spontan dari Tuhan atas doa yang ia lantunkan semalam.
Kisah tersebut, acap disampaikan Bung Karno dalam pidatonya
di berbagai kesempatan pasca kemerdekaan negara kita. Meski bukan yang pertama
dan kedua, setiap Bung Karno menuturkan kegelisahan malam Juma’at Wage tgl 1
Juni 1945, kemudian beranjak ke belakang rumah, berlutut dan berdoa… hampir
dapat dipastikan air mata pasti meleleh dari pipinya. Biasanya, Bung Karno akan
berhenti berpidato sejenak dan berkat, “Maaf… kalau aku ingat hal ini selalu
terharu….”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar