Bung Karno meditasi? Hendaknya jangan dilihat sebagai sosok begawan,
pendeta, atau kaum pertapa zaman Majapahit. Jika kita mendengar legenda, ephos,
atau bahkan mitos tentang leluhur kita, istilah “bertapa/bermeditasi” sangatlah
lazim. Sebuah kegiatan meditasi di tempat nun sunyi. Bayangan kita terlintas
pada sesosok manusia duduk bersila di bawah pohon raksasa, dengan rambut
menjuntai, duduk terpekur mata terpejam berhari-hari, berpuluh-puluh hari,
bahkan berbulan-bulan….
Ngobrol soal bertapa, sempat menggelitik tanya, “Bagaimana
mungkin manusia bisa tetap hidup tanpa makan-minum berhari-hari?” Saya pribadi
baru menemukan jawabnya setelah mengikuti kelas “meditasi Kaweruh Jendra
Hayuningrat” sekitar 30 tahun yang lalu. Memang agak susah dicerna awam,
terlebih bagi yang belum pernah mengikuti kelas meditasi.
Sebelum saya menerima anugerah dari Sampean Dalem Panjenengan Dalem Prabu Hamengku Buwono
IX di Wisma Kaliurang Jogyakarta tahun 1988. Oleh Guru Lantaran Kaweruh Jendra
Hayuningrat di tempat saya belajar meditasi, saya mendapat perintah untuk
bermeditasi/bertapa di gunung Lawu selama 7x bulan purnama. Berdasarkan
pengalaman inilah saya mencari tahu tentang apa yang membuat manusia tetap
hidup (saya), walau berbulan-bulan tidak makan dan minum selama menjalani
meditasi/bertapa di gunung Lawu.
Inilah analoginya, saat manusia bermeditasi, aktivitas
ragawi mati total. Semua fungsi diambil-alih oleh “kesadaran jiwa”, hasil dari konsentrasi
penuh yang menggumpal (nyawiji) menjadi
sebuah kekuatan nyata di luar kemampuan fisik manusia. Sebenarnya hal ini
disebut proses “moksa”, yaitu proses melepaskan kesadaran diri dari raga.
Perlu diketahui bahwa di saat meditasi, raga memang
tidak membutuhkan asupan makanan atau minuman. Kita semua tahu bahwa partikel-partikel
yang terkandung dan bertebaran di dalam udara banyak mengandung oksigen.
Melayang diudara dalam bentuk butiran-butiran halus mirip air embun. Ia jatuh dan menempel di kulit lalu masuk
melalui pori-pori kulit, terserap kedalam kulit dan menyatu dengan sel-sel
darah dan mengalir menjadi energi keseluruh tubuh.
Anda masih ingat? Kapan terakhir kali Anda melihat
butiran embun di dedaunan? Tanpa hujan, butiran embun tercipta, mewujud menjadi
air dengan segala khasiatnya. Bersamaan terbitnya sang surya, embun pun menguap
(atau terserap kedalam daun?). Itu
ilustrasi kongkrit, begitu pula tubuh seorang yang pertapa/melakukan meditasi
hingga berhari-hari, tak ubahnya denga selembar daun di hutan, kulit manusia
yang bertapa juga mendapat tetesan embun yang merasuk ke raganya dan menjadikan
energi yang dibutuhkan bagi proses metabolisme tubuh si pertapa tersebut,
sehingga orang yang bertapa tersebut mampu tidak makan, tidak minum hingga berhari-hari,
berpuluh-puluh hari….bahkan tahunan.
Sukarno adalah salah satu dari “kakek-moyang” bagi
kita di generasi jaman sekarang ini. Tentu sudah tidak aneh lagi jika beliu juga melakukan meditasi,
bertapa di tempat-tempat sunyi. Dalam suatu kesempatan, pada suatu hari Bung
Karno pernah mengatakan, bahwa yang beliu lakukan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan klenik. Sama sekali bukan aktivitas mistik. “Itu (meditasi)
adalah bagian dari kehidupan manusia yang ranahnya ada di dalam hati. Yang
tentu saja tidak terpisahkan dari kehidupan dan akal yang ada.”
Bertapa, bermeditasi, adalah olah batin, olah rasa,
olah hati. Aa Gym menyebutnya “manajemen qolbu”. Di luar kepercayaan atau
stigma yang mendampingkan aktivitas bertapa dengan mencari kekuatan
supranatural, maka bisa ditegaskan di sini, bahwa satu hal pasti, dengan
bermeditasi, maka jiwa, hati, perasaan seseorang jauh lebih tertata. Wujudnya
bisa menjadi maha bijaksana, pandai mengendalikan emosi atau perasaan.
Sang pertapa, akan memiliki kemampuan me-manage sebuah
perisitwa buruk dalam satu genggaman. Di sana ada menyatu antara peristiwa
buruk, sebab-akibat perisitwa itu terjadi, dampak dari peristiwa buruk yang
mungkin terjadi, serta solusi atau kebijakan yang harus diambil. Nah,
keseluruhan tadi, tertangkap dalam kesadaran seketika.
Contoh mudah… saat kita mengendari sepeda motor atau
mobil. Tiba-tiba terjadi insiden (entah menabrak, entah ditabrak), nah
bersamaan dengan terjadinya perisitiwa tadi, muncul kesadaran, bahwa yang baru
saja terjadi adalah sebuah kecelakaan. Kita tidak menghendaki, si korban atau
pelaku juga tidak menghendaki. Menyikapi dengan emosi, marah, kecewa, cemas,
sama sekali bukan jalan keluar. Sebaliknya, jika kita menabrak, kita harus
minta maaf dan bertanggung jawab. Jika kita yang ditabrak, sebaik-baiknya sikap
adalah memaafkannya. Dan… berlalulah. Sebab, marah-marah tidak akan memperbaiki
kerusakan, sebaliknya justru bikin lalu lintas tambah macet, lebih-lebih jika
sampai berkelahi, maka kita bisa mencelakai orang lain, atau kita yang celaka.
Jadi, so simple bukan? Itulah sebagian kecil dari cara berpikir alumni
kelas meditasi… (ehemmm)….
Dalam konteks dahulu kala, orang bermeditasi di tengah
hutan, jauh dari keramaian. Dalam konteks kekinian, masih ada yang melakukannya
di tengah hutan, di tepi sungai jauh dari keramaian, tetapi ada juga yang
dilakukan di kelas-kelas ber-AC, di dalam tempat peribadatan (misalnya
berdzikir di masjid), dan aneka cara lain. Tetapi esensinya adalah “olah
batin”, manajemen qolbu.
Jadi, mari
kita meditasi…. Salam Kejawen _()_ salam Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar