Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Raja Sultan Agung (1613 -
1645).
Tulisan ini merupakan salinan dawuh yang di sampaikan oleh Guru Bathin Mangkunegara IV dalam meditasi pengajaran sukma.
Ini adalah keterangan Serat, suatu pelajaran tentang Pangracutan yang telah disusun oleh
Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di Mataram atas berkenan beliau untuk
membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk
mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dapat dirembuk dengan para
ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang waktu itu dalam
temu nalar itu adalah: Panembahan Purbaya, Panembahan Juminah, Panembahan Ratu
Pekik di Surabaya, Panembahan Juru Kithing, Pangeran di Kadilangu, Pangeran di
Kudus, Pangeran di Tembayat, Pangeran Kajuran, Pangeran Wangga, dan Kyai
Pengulu Ahmad Katengan.
Adapun yang menjadi pembicaraan,
beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia,
ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita
umum, juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan keadaan
jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian. Pada keadaan jenazah
adalah berbagai yang diketengahkan: langsung membusuk, jenazahnya utuh, tidak
berbentuk (hilang bentuk jenazah), meleleh menjadi cair, menjadi mustika
(permata), ada yang menjadi hantu, bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.
Dan masih banyak lagi kejadianya,
lalu bagaimana hal itu dapat terjadi dan apa yang menjadi penyebabnya. Adapun
menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatui pendapat
sebagai berikut: “Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu
setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa disebabkan
karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya demikian karena
pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi mayat pun akan mengalami
sesuatu masuk kedalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat sedang
memasuki proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat
tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi
maut.”
Maka ada berbagai bab dalam
mempelajari ilmu ma’rifat, seperti berikut ini:
1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang
senang tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata,
setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan
kemudian menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat diumpamakan
bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada saat hidupnya gemar
menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut sudah termasuk lampah maka
kejadiannya tidak akan demikian.
2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang
kuat pusaka tetapi tidak mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya
maka mayatnya akn terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu
menjadi sanggar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi walaupun begitu
bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak
bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan
tidaklah seperti diatas kejadiannya pada akhir hidupnya.
3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur
tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat kematiannya kelak
maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari
berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun
begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan
keliru jalannya.
4. Siapun yang melantur dalam mencegah
syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak
jenazahnya akan lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus
lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada
orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu
wanita kalau berada pada pohon yang besar kalau pohon itu di potong maka benalu
tadi akan ikut mati walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur
tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan
haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya kelak.
5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan
tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati
didalamnya hidup, misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona
muka manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu janganlah
sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi dan demikian
itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan
mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu
dengan zat yang Maha Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada
bila menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat welas
asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
6. Oleh karenanya bagi orang yang ingin
mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan
Ma’rifat.
Pada ketika itu Baginda Sultan Agung
Prabu Hanyangkra Kusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang
telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang
berbagai jenis kematian misalnya: mati kisas, mati kias, mati sahid, mati
salih, mati tewas, dan mati apes.
Semuanya itu beliau berharap agar
dijelaskan apa maksudnya maka yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut:
Mati Kisas,
adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang
itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas
wewenang raja.
Mati Kias,
adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan misalnya: nafas atau
mati melahirkan.
Mati Syahid,
adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih,
adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena mendapat aib
atau sangat bersedih.
Mati Tiwas,
adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa pohon,
jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes,
suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau tenung
dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada kematian
yang sempurna atau kesedanjati bahkan dekat sekali pada alam penasaran.
Berkatalah beliau: “Sebab-sebab
kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya
antara yang berilmu dengan yang bodoh? Andaikan yang menerima akibat dari
kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika
itu juga?”
Dijawab oleh yang menghadap: “Yang
begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang
tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin
yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat
keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau
selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat
mencabut seketika itu juga.”
Setelah mendengar jawaban itu beliau
merasa masih kurang puas menurut pendapat beliau bahwa sebelum seseorang
terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok
tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya
beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu
pendapat yang lebih masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan
sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum
tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan
ngracut jasad seketika, tidak terduga siapa yang dapat menyamainya.”
Adapun Pangracutan Jasad atau penyempurna sukma yang dipergunakan oleh Kangjeng Susuhunan
Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak cucu seperti ini
caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa
dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup
abadi selamanya. Di dunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga
hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan
datang yang kukehendaki”.
Adapun pesan beliau Kangjeng
Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut: “Siapapun yang menginginkan dapat
menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjizat seperti para Nabi,
mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para
Mukmin Khos, dengan cara menjalani tapabrata
seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta: menahan hawa nafsu selama
seribu hari siang dan malamnya sekalian, menahan syahwat (seks) selama seratus
hari siang dan malam, tidak berbicara (artinya membisu) dalam empat puluh hari
siang dan malam, puasa padam api tujuh hari tujuh malam, terjaga (tidak tidur)
tiga hari tiga malam, dan mati raga (tidak bergerak) sehari semalam.”
“Adapun pembagian waktunya dalam
lampah seribu hari seribu malam itu beginilah caranya: manahan hawa nafsu, bila
telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan, menahan syahwat, bila telah
mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan membisu tanpa berpuasa selama 40
hari, lalu lanjutkan dengan puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu
dilanjutkan dengan tidak tidur (terjaga) selama tiga hari tiga malam, lanjutkan
dengan pati raga selama sehari semalam.”
“Adapun caranya Pati Raga adalah:
tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak
bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak,
tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya
mata, tarikan nafas, anapas, tanapas
nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai
bersengal-sengal campur baur.”
dan Ilmu ini telah di sempurnakan oleh Guru Bathin saat beliu sudah menjadi Roh Suci, melalui penyawijian sejati para siswa Jendra akan mendapatkan pengajaran tentang ilmu penyempurna sukma ini.Ilmu inilah yang di pakai oleh Kanjeng Syeck Lemah Bang ( Syeck Siti Jenar ), bapak Supriyadi (pahlawan Peta), bapak Sukarno ( presiden RI) dan bung Tomo ( pahlawan Surabaya), beliu adalah murid-murid Jendro pendahulu kita. Rahayu.....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar