Rahayu....!
2. Sembah
Cipta, kadang-kadang disebut sembah
kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait
11 berikut :
“Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku
agung kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang
momong”
Apabila
cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang
tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati, maka sembah cipta di sini
mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau
angan-angan. Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh
segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan
hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning
kalbu).
Thaharah (bersuci)
itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat :
1.
Membersihkan hadats dan najis yang
bersifat lahiriah.
2.
Membersihkan anggota badan dari
berbagai pelanggaran dan dosa.
3.
Membersihkan hati dari akhlak yang
tercela dan budi pekerti yang hina.
4.
Membersihkan hati nurani dari apa
yang selain Allah.
Dan
yang keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin. Jika thaharah yang pertama
dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan
najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan
oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran
yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan
menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat
juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan
mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.
2.
Sembah
jiwa adalah sembah kepada Sang Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan
peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu)
mengutamakan peran kalbu, maka sembah
jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi
secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara
terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
“Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur /
Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa
sutengong”
Dalam
rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang
sangat penting. Ia disebut pepuntoning
laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan
hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu
atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu,
tetapi dengan awas emut (selalu
waspada dan ingat/dzikir kepada
keadaan alam baka/langgeng), alam
Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah
jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:
“Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan
kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota”
Berbeda
dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi
perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan.
Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan
kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan
kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya
dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek
jiwa dengan dzikir kepada Allah
seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan
sembah jiwa ialah dengan berniat
teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya
kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan
apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam
yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu,
hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang
terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
"Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka
kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup /
mring kelaping alam kono."
4. Sembah
rasa ini berlainan dengan sembah-sembah
yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah
sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam,
demikian menurut Mangkunegara IV. Rahayu....!
Sebelum beranjak dari halaman ini, saya sangat senang sekali jika Anda bersedia meluangkan sedikit waktu untuk memberi Like dan Share serta G+1 pada artikel ini, dengan demikian artikel ini juga dapat dibaca oleh sahabat, teman dan orang terdekat Anda serta orang yang membutuhkannya.
Untuk menambah wawasan Anda dalam memahami agama-agama lain, kunjungi juga Kaweruh Transparan , sebuah blog yang memaparkan perjalanan spiritual agama-agama yang ada di muka bumi ini. Terimakasih atas kunjungan Anda dan salam sukses untuk Anda sekalian..... Rahayu..!
Sebelum beranjak dari halaman ini, saya sangat senang sekali jika Anda bersedia meluangkan sedikit waktu untuk memberi Like dan Share serta G+1 pada artikel ini, dengan demikian artikel ini juga dapat dibaca oleh sahabat, teman dan orang terdekat Anda serta orang yang membutuhkannya.
Untuk menambah wawasan Anda dalam memahami agama-agama lain, kunjungi juga Kaweruh Transparan , sebuah blog yang memaparkan perjalanan spiritual agama-agama yang ada di muka bumi ini. Terimakasih atas kunjungan Anda dan salam sukses untuk Anda sekalian..... Rahayu..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar